Saat itu saya masih menjadi seorang mahasiswi semester dua fakultas hukum ketika dosen Hukum Adat saya menyebutkan dalam kelas bahwa PSC (Production Sharing Contract) atau perjanjian bagi hasil adalah suatu bentuk perjanjian yang diadaptasi dari tradisi masyarakat adat Indonesia. Mengejutkan? Tentu! Terutama karena saya tahu bahwa PSC ini juga merupakan jenis perjanjian yang banyak digunakan oleh berbagai negara terkait masalah minyak bumi.

Sebenarnya, apa sih PSC itu? jadi PSC adalah sebuah bentuk kontrak antara pemerintah dan perusahaan ekstraksi sumber daya alam (terutama minyak) mengenai berapa jumlah sumber daya alam yang telah diekstraksi itu dapat dinikmati oleh negara. Singkatnya, pemerintah memberikan izin bagi perusahaan minyak untuk mengambil dan mengeksplorasi minyak bumi yang merupakan sumber daya alam negaranya. Apabila proses ini berhasil, keuntungan dari minyak yang diproduksi akan dibagi dua antara pemerintah dan perusahaan asing tersebut. Biasanya, pemerintah mendapat keuntungan sampai 80% dari kontrak ini.

Di kelas Sistem Hukum Nasional, dosen saya yang lain menyebutkan bahwa PSC diadaptasi dari tradisi masyarakat Sunda ‘Maro’ atau bahasa Indonesianya ‘Separuh’. Tradisi Maro ini biasanya digunakan oleh petani dan pemilik tanah dalam masyarakat sunda. Merupakan tradisi bagi keuntungan menjadi dua bagian sesuai dengan masing – masing kontribusi dari para pihak, jadi bila seorang yang memiliki tanah dan tanahnya digarap oleh orang lain, keuntungan dari hasil tanah tersebut akan dibagi dua. Sederhana tapi adil, bukan?

Sistem kontrak PSC yang masuk dalam ranah Hukum Perdata Internasional karena salah satu pihaknya merupakan pihak asing ini pertama diimplementasikan oleh Pertamina pertengahan tahun 1960, saat mengadakan perjanjian dengan beberapa investor asing seperti Shell dan Caltex. Sistem ini kemudian menarik perhatian banyak negara di dunia karena menguntungkan negara yang sumber daya alamnya dimanfaatkan oleh investor asing.

 

Written for Good News From Indonesia by Farah Fitriani