GNFI telah sampai detik ini meng-echo dalam bahasa Inggris berita-berita baik dari penjuru negeri agar dunia bisa melihat Indonesia dari sisi yang lebih terang dan agar masyarakat Indonesia bisa merasa lebih optimis akan bangsa ini. Kali ini, GNFI ingin mengajak pembaca semua untuk melihat lagi kondisi bangsa Indonesia dan berbagi visi dalam seri tulisan analisa ringan Indonesia, Mestinya Bisa Lebih Baik. Kami sengaja menampilkan seri tulisan ini dalam bahasa Indonesia agar bisa lebih dimengerti oleh lebih banyak pembaca Indonesia, yang nantinya diharapkan bisa memberi wawasan lebih kepada masyarakat luas.
Seperti kami umumkan melalui Twitter @GNFI sesaat lalu, kami mengajak siapa saja untuk menulis analisa ringannya tentang hal-hal di Indonesia yang mestinya bisa lebih baik lagi. Tulisan yang kami terima melalui link di Twitter @GNFI dan email [email protected] akan kami muat di website GNFI.
Inilah tulisan yang pertama!
—————————————————————————————————————————————————-
Oleh: Bintang Pamungkas, mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah 2010
Sekilas Indonesia
Indonesia, tanah surga, miniatur dunia. Begitulah kata banyak orang di luar sana. Negara yang (sebenarnya) sangat kaya. Lebih dari 17.000 pulau tercatat menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia (versi Kementrian Pertahanan), dan menurut BPS terdapat kurang lebih 1.128 suku bangsa. Terbayangkah oleh kita betapa kaya Indonesia kita ini? Namun, berapa banyak budaya yang bisa kita sebutkan dari sedemikian banyak budaya yang tercipta dari suku bangsa yang berjumlah ribuan ini? Mungkin tak sampai 20 atau bahkan kurang dari 10? Miris memang.
Begitu kaya negara kita ini akan budaya, bukankah ini adalah sebuah aset negara yang belum berhasil dimaksimalkan dengan baik? Kementrian Budaya dan Pariwisata pun seperti kewalahan untuk mematenkan berbagai budaya kita. Dan kita? Seakan tidak peduli terhadap budaya kita sendiri, seharusnya kita bisa lebih baik dalam mencintai budaya kita sendiri. Merefleksikan identitas diri sebagai bangsa Indonesia yang kaya akan budaya.
Mereka Sadar, Kita tidak
Mari mengintip sejarah sekitar 3 tahun lalu, pada saat bangsa Indonesia geram akan tindakan negara tetangga yang mengklaim Reog Ponorogo dan diubah namanya menjadi Tarian Barongan. Beberapa tahun kemudian, kembali Indonesia dibuat keki dengan penggunaan Tari Pendet yang berasal dari Bali di dalam tayangan promosi program pariwisata mereka. Sukseskah negara tersebut? Ya mereka sukses mempopulerkan tarian itu. Terlepas dari semua kontroversi yang tercipta, seharusnya itu adalah sebuah tamparan bagi kita. Berapa banyak dari kita yang sebelumnya peduli pada budaya Indonesia sebelum kejadian seperti ini? Tidakkah kita belajar? Ataukah kita terlalu kaya untuk memperhatikan aset bangsa kita––budaya kita?
Ironis, karena bangsa kita sendiri tak sadar akan potensi nya sendiri, sedangkan bangsa lain menaruh perhatian yang sangat besar kepada budaya kita sendiri. Bahkan dari yang penulis lihat di sebuah televisi nasional, di Washington DC, Amerika Serikat, musik dangdut mulai berkembang dan menjadi populer. Adidas pun turut mengenalkan batik kepada dunia dengan beberapa produk mereka yang bermotif batik. Mereka, dunia, sadar akan potensi budaya yang kita miliki, kita? Mungkin perlu disadarkan.
Pedulilah
Sedikit intemeso, penulis pun tertawa pada saat melihat tagline Bus Transjakarta yang dengan sedikit “maksa” menggunakan Bahasa Inggris. Tagline itu bertuliskan “Take the bus, no it’s way”. Terlintas dalam benak, mengapa kita harus menggunakan bahasa bangsa lain? Apakah itu cara kita menghormati para pemuda yang berjuang untuk dapat menggunakan bahasa kita sendiri? Mungkin, tujuannya agar para wisatawan juga mengerti mengenai tagline itu, tetapi dengan tagline yang benar-benar salah seperti itu, tak ada satu orang pun yang dapat menangkap maksudnya dengan benar. Mengapa menggunakan bahasa lain jika masih bisa menggunakan bahasa Indonesia?
Seharusnya, kita bangga akan budaya kita sendiri. Karena bangsa lain pun iri terhadap apa yang kita miliki. Kita bisa memulai dari hal yang terkecil, pelajari atau kenali sedikit demi sedikit tiap budaya yang ada di Indonesia, mulailah mencari dan mengenal. Publikasi ke dunia luar bahwa budaya itu adalah budaya kita, budaya Indonesia. Menulislah, menulis untuk mempopulerkan apa yang kita miliki, sebelum budaya itu ditulis oleh orang lain yang tidak berhak dan menjadi populer karenanya. Peduli terhadap budaya kita, budaya Indonesia. Ini budayaku! Indonesiaku!
Popularity: 5% [?]
mezo
3 months ago
bahasa indonesia memang penting, tp bahasa inggris juga perlu, apalagi mengingat jika kita menginginkan pariwisata indonesia meningkat, tagline & petunjuk arah memang sebaiknya dwibahasa. bersikap bijaklah terhadap bahasa, krn di dunia ini tidak hanya ada bgs indonesia sj tetapi juga bgs lain. even china, the largest nation and the biggest language of the world, use english in their public road direction beside their national language.
Widya
3 months ago
Kalau sering lewat rawamangun, ada mural yag dibuat oleh Pusat Bahasa, bunyinya : Bahasa Indonesia wajib, Bahasa Asing perlu.
Setiap jaman ada bahasa yang mendominasi, kalau kita bisa manfaatkan bahasa itu, ya kita akan maju. Entah itu bahasa arab ketika dulu Islam menyebar dari arab sampai Asia, atau bahasa melayu yang jadi lingua franca di Asia Tenggara. Kalau sekarang bahasa inggris bisa memperkenalkan Indonesia ke manca negara, kenapa tidak. Apalagi menurut saya berita ini memang untuk mendorong orang luar negeri memahami kebaikan Indonesia.
Sepandai-pandainya kita belajar bahasa asing, kebanggaan kita sebagai orang Indonesia tidak akan luntur kalau kita lebih mengenalnya. Muhammad Yamin ahli 9 bahasa, Bung Hatta dan Bung Karno juga sering pidato dengan bahasa belanda, tapi tidak ada yang meragukan ke-Indonesiaan mereka.
mezo
3 months ago
sepakat banget dengan mbak widya…
Ian
3 months ago
mezo & Widya:
Setuju dengan perlunya bhs Inggris. Saya rasa maksud artikel ini adalah utk mengingatkan agar kita tidak melupakan akar, dan semakin memperkuatnya. Karena tdk jarang jg kita lihat banyak orang yg seakan “malu” beratribut Indonesia dan berusaha tampil “western”, meskipun blm tentu benar.
Dan benar GNFI memang dibuat sengaja dlm bhs Inggris agar orang2 di seluruh dunia bisa lebih mengerti Indonesia dari sisi yg lebih baik. Sementara artikel2 berbahasa Indonesia sengaja dibuat sebagai refleksi bangsa Indonesia sendiri.
Terima kasih atas komentarnya
Mark Mael
3 months ago
Ditunggu versi bahasa arabnya, Negara sebesar Cina sekalipun membuat versi khusus bahasa arab di stasiun tv CCTV mereka
Kar
3 months ago
quote: “Kementrian Budaya dan Pariwisata pun seperti kewalahan untuk mematenkan berbagai budaya kita.”
cmiiw, budaya itu TIDAK bisa dipatenkan, karena paten hanya diberikan untuk temuan2 yang sifatnya teknologi atau industrial applicable. (pasal 1 angka 1 Undang-Undang 14 Tahun 2001 tentang Paten)
selama ini media telah salah menggunakan istilah. budaya Indonesia sampai kapan pun tidak bisa dipatenkan, mungkin maksud penulis adalah didaftarkan sebagai Karya Agung Budaya Lisan dan Takbenda Warisan Manusia di Unesco.
ilhamm
2 months ago
Bahasa Indonesia telah menjadi mata kuliah wajib di beberapa universitas di dunia. Di Vietnam saya mendengar bahwa bahasa Indonesia akan di jadikan bahasa no.2 sepeti bahasa Inggris dan Mandarin.